Pendahuluan
Kebangkitan peradaban Barat di abad 15 M memberikan pengaruh besar terhadap peradaban dunia setelah mengalami berbagai macam persoalan didalamnya seperti konflik antara ilmuwan dengan agamawan. (Saifullah, 2014). Kebangkitan ini memberikan pengaruh ke seluruh wilayah negara tidak terkecuali negara Islam, yang tidak mampu menandingi peradaban Barat, sementara kejayaan umat Islam di masa lalu hanya tingga kenangan, sementara peradaban Barat belajar dari kejayaan tersebut dan mencetuskan sebuah gerakan yang dinamakan Renaissance, Aufklarung dan dalam bahasa Indonesia disebut kelahiran kembali.
Kelahiran kembali yang kemudian dampak renaissance memunculkan berbagai macam gerakan di Timur Tengah, khususnya dalam bidang pendidikan, yang dapat dibagi tiga hal, yaitu. Pertama, reformasi di Mesir, pembaharuan di Mesir diawali dengan kedatangan Napoleon Bonaparte dengan mencetukan sebuah laboratorium ilmiah di Mesir yang dinamakan dengan Institut d ‘Egypt, yang didalamnya terdapat berbagai macam peralatan modern yang di masa itu masyarakat Mesir belum memilikinya; Kedua, reformasi di Turki, pendidikan Islam di mengalami perubahan pada abad ke-19 M yang ditandai dengan mendirikan sekolah-sekolah yang menggunakan sistem Eropa, dan sekolah agama yaitu madrasah (medresse) tidak dilakukan perubahan apapun; Ketiga, reformasi di India, pendidikan di India termasuk Pakistan melakukan perubahan pertama kali oleh Sayyid Ahmad Khan dengan membentuk sebuah sekolah modern yang bernama “Muhammedan Anglo Oriental College” di Aligarh-India, tahun 1878 Masehi, tujuan reformasi pendidikan Islam di India adalah untuk mengatasi pemisahan antara pendidikan Islam tradisional yang anti Inggris dengan pendidikan sekuler yang mengajarkan agama (Hidayati, 2020).
Pengaruh besar Renaissance memberikan sebuah tawaran baru peradaban Barat terhadap pendidikan Islam, dan hal ini memberikan inspirasi bagi seorang Abed Al-Jabiri, dalam menjelajahi perkembangan pendidikan Islam di berbagai negara, yang dibagi ke dalam dua macam, diantaranya. Pertama, kritik masa lalu yang ditujukan agar umat Islam memahami sejarah dengan benar dan terhindar dari segala bentuk manipulasi; Kedua, kritik masa kini ditujukan olehnya untuk menghindari penegasan sebuah identitas ketika bersentuhan dengan teori Barat(Hayati, 2017). Dua bentuk ini merupakan salah satu bagian kebangkitan Arab-Islam kontemporer, sehingga Abed Al-jabir mengajak kepada seluruh umat Islamuntuk senantiasa berpikir kritis terhadap masa lalu, dan menerima dengan lapang dada modernitas peradaban Barat sebagai fakta sejarah yang harus dikritisi juga(Ro’uf, 2018).
Kombinasi kejayaan masa lalu umat Islam dan menerima kebangkitan peradaban Barat merupakan dua konsep dari seorang Abed al-Jabiri dalam merumuskan sistematika pemikiran yang dikenal dengan penalaran dalam Islam, yang berlandaskan pada pengembaraannya yang saat itu dan hingga saat ini masih diterapkan oleh umat Islam, baik pada aspek pendidikan, maupun spiritual.
Pembahasan
Riwayat Hidup Abed al-Jabiri
Muhammad Abed al-Jabiri, merupakan cendekiawan berkebangsaan Maroko yang dibesarkan dengan lingkungan agama, ditandai dengan pendidikan dasarnya pada Madrasah Hurrah Wataniyah dan kemudian melanjutkan pendidikan menengah atas di sekolah pemerintah(Hayati, 2017; Rohmanu, 2014). Selanjutnya, Abed-al-Jabiri melanjutkan studinya pada disiplin ilmu filsafat Universitas Damaskus Suriah dan kemudian pada tahun berikutnya beliau pindah ke fakultas Sastra Universitas Muhammad al-Khamis, dan oleh Nurfitriyani Hayati disebutkan bahwa di kampus Muhammad al-Khamis, seorang Abed al-Jabiri diawali perkenalannya dengan filsafat Prancis(Hayati, 2017; Rohmanu, 2014). Gelar Magisternya diperolehnya di tahun 1967 M, dan penelitian tesis yang diajukan di bawah arahan seorang pemikir arab yang bernama N. Aziz Lahbabi yang berjudul yaitu Ibn Khaldun’s Philosophy of History (Hayati, 2017). Adapun gelar Doktoralnya diraih pada bidang ilmu filsafat pada tahun 1970 M dengan judul disertasinya Fanaticism and the State; Khaldunian Theoretical Elements in Islamic History dan disertasi ini menjadi buku tepatnya pada tahun 1971 M (Hayati, 2017; Rohmanu, 2014). Pengembaraan intelektual Abed al-Jabiri dalam pandangan Penulis merupakan sebuah kombinasi tersendiri jika dilihat dari latar pendidikannya, yaitu sastra dan filsafat, dan tentunya pemikiran para filsuf Prancis mewarnai corak pandangan seorang Abed al-Jabiri dalam mencetuskan sebuah gagasan penalaran dalam Islam. Dibuktikan dengan adanya beberapa karya yang dicetuskan olehnya sebagai sebagai saran untuk mengenai konsep serta pemikiran yang ditawarkan dalam ilmu-ilmu Islam.
Keterpengaruhan dengan filsuf Prancis yang Michael Foucault dalam pemikiran Abed al Jabiri terletak pada pemetaan situasi yang terjadi pada umat Islam di masa kehidupannya, dan saat ini masih dapat ditemukan yang dapat memberikan kontribusi dalam klasifikasi keilmuan Islam. Apa yang dilakukan oleh Abed al-Jabiri menarik dalam memproduksi ilmu pengetahuan dengan melihat sistematika kerangka berfikir peradaban Barat, dan dalam hal ini harus diakui bahwasannya peradaban Barat sudah berhasil dalam memproduksi ilmu pengetahuan dengan segala ragam teori dari berbagai disiplin keilmuan.
Penalaran Dalam Islam
1. Burhani
Istilah Burhani dalam bahasa Arab juga dikenal istilah mantiq atau logika yang menjadi asas utama dalam penerapan metode burhani (demonstratif), oleh Abed al-Jabiri dijelaskan bahwa metode Burhani hanya berlandaskan kemampuan intelektual manusia, yaitu panca Indera, daya rasional, dan pengalaman (Nugroho, 2016). Istilah burhan adalah sebuah aktivitas intelektual untuk membuktikan kebenaran sebuah proposisi, sehingga argumentasi yang dihadirkan sangat kuat dan jelas. Adapun secara terminologi, dapat dijelaskan bahwa nalar burhani merupakan sebuah konsep keilmuan yang berfokus mengutamakan akal atau rasio sebagai landasan pemikiran, dengan mengikuti kaidah silogisme Aristoteles (Ibrahim, 2014).
Nalar burhani dalam konteks ilmu filsafat dan pengetahuan modern lebih diutamakan penggunaannya daripada dua nalar lainnya, yaitu bayani dan irfani, dimana bentuk nalar burhani menyajikan sebuah konsep demonstrasi pikiran dengan menjadikan silogisme Aristoteles sebagai kerangka berfikir (Rohmanu, 2014). Sebagaimana yang diketahui dan dirasakan bersama, khususnya pada pendidikan tinggi Indonesia baik yang berbasis umum atau Islam, nalar burhani dijadikan sebagai acuan dan kerangka berfikir dalam menemukan kebenaran, dan terlihat dalam kerangka ilmiah yang diajukan yaitu berbasis rasio empirik, penelitian yang dapat dijangkau oleh akl dan dapat dibuktikan secara empirik.
Abdul Mukti Ro’uf mengutarakan bahwa Abed al-Jabiri memandang nalar burhani sebagai nalar yang obyektif dan relevan untuk tercapainya kemajuan peradaban Arab-Islam, sedangkan bayani dan irfani tidak dapat menjawab tantangan zaman karena proses pengkajiannya tidak obyektif (Rohmanu, 2014). Apa yang diutarakan oleh Abdul Mukti Ro’uf disini merupakan satu langkah keberanian dalam mengkritisi formulasi penalaran Islam yang dicetuskan oleh Abed al-Jabiri, dan Penulis berpandangan ketidakseimbangan Abed al-Jabiri memberikan bukti bahwa gagasan serta pemikirannya dipengaruhi oleh peradaban Barat, sehingga adalah wajar ketika beliau memandang nalar burhani sebagai kriteria utama untuk kemajuan peradaban Islam.
2. Nalar Bayani
Istilah Bayan mengandung banyak makna atau arti di dalamnya, yaitu baik dan buruk, petunjuk, kesesatan, pengetahuan dunia dan akhirat (Viruliana & Kholili, 2022). Wira Hadi Kusuma dalam penelitiannya menjelaskan bahwa istilah atau term bayan atau bayani memiliki banyak arti diantaranya kesinambungan, pemisahan dan terang dan jelas (Hadikusuma, 2018). Penjelasan dari dua sumber diatas memiliki keterkaitan bahwa arti dari Bayan adalah dua hal yang memiliki kesinambungan antara satu dengan lain, seperti pengetahuan dunia dan akhirat, yang didalamnya terdapat pemisahan, antara dunia dan akhirat memiliki perbedaan yang dibutuhkan penjelasan. Metode Bayani merupakan sebuah metode yang berlandaskan pada teks ataui nash yang terbagi kepada dua model, yaitu Pertama, penerapan bayani secara langsung adalah sebuah upaya pemahaman akan teks secara apa adanya, dan dalam mengimplementasikannya tidak dipengaruhi oleh pemikiran apapun; Kedua, penerapan bayani tidak langsung adalah upaya pemahaman sebuah teks secara mentah, sehingga dalam mengimplementasikannya dibutuhkan peranan disiplin ilmu tafsir, berupa penjelasan, asal-usul sebuah surah dan ayat dan dalam hal ini peranan alim ulama sangat sentral (Al Jabiri, 1991).
Sumber epistemologi bayani sebagaimana yang telah diuraikan berdasarkan pengamatan Abed al-Jabiri bahwa al-Quran dan hadits, Adapun cara atau saran untuk memperoleh pengetahuan dari teks terbagi kepada dua model, yaitu Pertama, memiliki pemahaman bahasa Arab yang baik khususnya ilmu nahwu dan Sharaf dalam memahami sebuah redaksi teks; Kedua, memahami teks dengan penghayatabn mendalam, dan dalam hal ini peranan nalar burhani dapat dijadikan sebagai Analisa teks tersebut (Al Jabiri, 1991).
3. Nalar Irfani
Nalar irfani merupakan pengamatan ketiga oleh Abed al-Jabiri yang melandaskan dengan ilham dan kasyf sebagai sumber pengetahuan yaitu penyingkapan berbagai macam dalam perjalanan spiritual seseorang (Hayati, 2017). Pengetahuan nalar irfani dapat diwujudkan melalui pengalaman ruhani yang didasarkan pada kesucian jiwa dengan bermujahadah agar senantiasa dekat dengan Allah SWT. Nalar Irfani berbeda dengan dua nalar sebelumnya, dimana nalar irfani sumber pengetahuannya berada di dalam diri yang berbeda dengan nalar burhani, yaitu pengalaman spiritual yang ditempuh oleh seseorang dengan bimbingan seorang mursyid (guru ruhani) (Hayati, 2017).
Pemahaman nalar Irfani diterapkan oleh kalangan sufi sehingga banyak dari kalangan ilmuwan menolak keabsahan kebenaran dari pernyataan kaum sufi, dikarenakan tidak dilakukan pengujian validitas, sebab terdapat kaidah sufi yang menyatakan bahwa barangsiapa yang belum merasakan maka tidak akan mengetahui. Hayati memaparkan bahwa kebenaran nalar irfani bersifat immaterial, dan saat ini konsep nalar irfani masih berlangsung dalam kehidupan umat Islam (Hayati, 2017)
Tiga sistem epistemologi yang ditawarkan oleh Abed al-Jabiri, oleh Nurfitriyani Hayati burhani, bayani dan Irfani meniru konsep episteme-nya Foucault salah seorang filsuf Prancis (Hayati, 2017). Apa yang dinyatakan oleh Nurfitraiyani Hayati dibutikan dalam penelitian disertasi yang diajukan oleh Moh. Anas bahwa epistemologi Foucault memberikan pengaruh yang besar terhadap pemikiran Abed al-Jabiri mengenai kritik nalar yang dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu Pertama, asal-usul atau sumber suatu pengetahuan; Kedua, sumber pengetahuan atas sikap atau prilaku seseorang; Ketiga, teks yang yang tidak dapat dijelaskan (Anas, 2016). Abed al-Jabiri mengkritisi bagaimana sebuah pengetahuan diproduksi, dimana baginya relasi-kuasa memberikan pengaruh atas lahirnya sebuah pengetahuan sehingga pengetahuan yang diluar episteme akan terpinggirkan (Anas, 2016).
Refleksi Kritis (Penerapan dalam Pendidikan Islam)
Pendidikan Islam merupakan sarana dalam mengimplementasikan ajaran Islam, dan peranannya sangat sentral dalam mencetuskan generasi Islami di masa yang akan datang. Dalam perjalanananya, khususnya di Indonesia lembaga pendidikan Islam menerapkan cara yang berbeda-beda kepada peserta didik dalam mengamalkan ajaran Islam. Pondok Pesantren Modern Gontor yang telah menapaki perjalanan pendidikan Islam telah merintiskan nalar burhani dalam penerapan pendidikan Islam, dimana sebagaimana yang Penulis rasakan konsep pengajaran dan pembelajaran berlandaskan kepada logika atau burhani seperti penamaan istilah modern yang bersumber dari Barat. Artinya penerapan pendidikan Islam ala pesantren Gontor adalah menggabungkan dua epistemologi yang berbeda, yaitu Islam dan Barat.
Epistemologi di bagian Islam tersebut sejauh pengalaman yang Penulis rasakan selama menempuh pendidikan di Pondok Pesantren binaan Gontor selama 6 tahun, mengacu kepada nalar burhani, dan ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Abed al-Jabiri bahwa untuk kemajuan peradaban Islam adalah dengan menggunakan nalar burhani. Adapun dua nalar lainnya, yaitu bayani dan Irfani tidak dapat dirasakan secara optimal dalam pelaksanaan pengajaran pembelajaran di ponpes modern, dan ini juga dibenarkan oleh beberapa alumni ponpes modern.
Nalar Irfani yang notabene dikhususkan kepada kaum sufi mengalami tantangan tersendiri dalam pelaksanannya, sebagaimana pengamatan Penulis di Kabupaten Langkat Sumatera Utara bahwa praktik spiritual tarekat naqsyabandiyah tidak dijadikan sebagai basis pembelajaran, sementara dalam satu komplek terdapat pesantren yang berbasis modern yaitu menggunakan nalar burhani. Artinya terdapat dua nalar yang berbeda dalam satu Kawasan, akan tetapi berbeda peruntukannya. Ini menjadi unik dan dapat dijadikan locus penelitian, tarekat naqsyabdandiyah sebagai bentuk dari nalar irfani yang cenderung kepada usia lanjut yang menjelang ajal, sehingga dengan harapan ketika meninggal dunia dalam keadaan zikir.
Penulis berpandangan bahwa ajaran tarekat dapat dijadikan sebagai basis pembelajaran sebagaimana yang telah dipraktekkan pada masa Turki Usmani, sehingga jika ini dapat diwujudkan kembali akan memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap peradaban Islam di masa depan, Penulis berbeda pandangan dengan Abed al-Jabiri yang menyatakan bahwa nalar burhani sebagai tonggak atau acuan terhadap kemajuan peradaban Islam.
Selanjutnya, nalar bayani, yang diterapkan dalam dua model, langsung dan tidak langsung yang saat ini ada pada pesantren tradisional atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pesantren salaf, yang saat ini dari beberapa pesantren sudah mengarah kepada nalar burhani yang ditandai dengan mendiririkan perguruan tinggi, dan para santri juga diajarkan ilmu pengetahuan umum, sehingga tanpa disadari basis kajian nalar bayani akan berkurang secara perlahan dan tergantikan kepada nalar burhani.
Simpulan
Peradaban Barat telah memulai iklim keilmuannya yang ditandai dengan sebuah gerakan besar yang disebut Renaissance yaitu kelahiran kembali. Gerakan ini mempelopori kebangkitan ilmu pengetahuan sebagai cikal bakal atas lahirnya berbagai macam teori pengetahuan yang digunakan di seluruh belahan dunia, tidak terkecuali negara Islam yang notabene didalamnya terdapat pendidikan Islam.
Abed al-Jabiri melihat kegemilangan peradaban Barat dengan memperoduksi ilmu pengetahuan saat ini harus mampu diterima oleh umat Islam, namun penerimaan tersebut harus diimbangi dengan kritik masa kini, dan demikian halnya dengan kejayaan umat Islam masa lalu tentunya juga tidak hanya sekedar dibanggakan namun juga harus ada kritik masa lalu di dalam kajiannya, sehingga umat Islam mengembangkan nalar berpikirnya.
Dalam hal ini, Abed al-Jabiri mengembangkan gagasannya yang dikenal dengan istilah Penalaran dalam Islam, dan terbagi ke dalam tiga macam, sebagaimana yang disaksikan oleh ‘Abed Al-Jabiri dalam melihat implementasi penerapan keilmuan Islam di berbagai belahan dunia Islam, yaitu Pertama, Burhani yang berlandaskan pada rasio atau akal sebagai basis pengetahuan, dengan menggunakan silogisme sebagai basis kajian; Kedua, Bayani, menjadikan otoritas teks sebagai basis pengetahuan, yang diimplememtasikan kepada dua model, yaitu penerapan bayani langsung adalah dengan memahami teks secara apa adanya, yang tidak dipengaruhi oleh hal apapun dan penerapan bayani tidak langsung adalah sebuah upaya pemahaman teks secara mentah, sehingga dalam penerapnnya dibutuhkan displin ilmu tertentu, yaitu ilmu tafsir berupa penjelasan, asal-usul sebuah surah dan ayat.
Ketiga, nalar irfani bersumber kepada ilham dan kasyf sebagai sumber pengetahuan, yaitu penyingkapan berbagai macam dalam perjalanan spiritual seseorang. Pengetahuan nalar irfani dapat diwujudkan melalui pengalaman ruhani yang didasarkan pada kesucian jiwa yang dilalui dengan berbagai macam cara. Penggunanan nalar irfani oleh kalangan sufi, yaitu tarekat, yang senantiasa dalam pengamalan ajaran Islam ditempuh dengan jalan ruhani, dan setiap tarekat memiliki cara yang berbeda-beda dalam pengamalannnya.
Ketiga nalar yang dicetuskan oleh Abed al-Jabiri dapat dijadikan sebagai pisau analisis dalam melihat realita pendidikan Islam, khususnya di Indonesia sebagaimana yang dilakukan oleh Abed al-Jabiri dalam memetakan keadaan umat Islam, juga dapat dilakukan pemetaan pondok pesantren yang arah kecenderungannya dari tiga nalar tersebut.
Saran
Kajian ini menarik dalam pandangan Peneliti dalam memetakan pendidikan Islam di Indonesia khususnya pondok pesantren Indonesia sebagai basis pembelajaran dan pengajaran ajaran Islam dengan melihat kecenderungan penerapan ketiga nalar ayng dicetuskan oleh Abed al-Jabiri.
Referensi
Al Jabiri, A. (1991). Bunyah al-Aql al-Arabi (1st ed.). Markaz al-Tsaqafi al-Arabi.
Anas, M. (2016). Kaji Kritik Nalar, Moh Anas Raih Doktor. Universitas Gadjah Mada. https://ugm.ac.id/id/berita/12633-kaji-kritik-nalar-moh-anas-raih-doktor/
Hadikusuma, W. (2018). Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi Agama Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding. Jurnal Ilmiah Syi’ar, 18(1). https://doi.org/10.29300/syr.v18i1.1510
Hayati, N. (2017). Epistemologi Pemikiran Islam ’Abed Al-Jabiri Dan Implikasi Bagi Pemikiran Islam. ISLAM REALITAS: Journal of Islamic & Social Studies, 3(1), 1–14.
Hidayati, N. (2020). Reformasi Pendidikan Islam Pada Awal Abad Ke-20. Jurnal Al-Risalah, 16, 203–236.
Ibrahim, D. (2014). Metodologi Penelitian dalam Kajian Islam; Suatu Upaya Iktisyaf Metode-Metode Muslim Klasik. Jurnal Intizar, 20, 255.
Nugroho, I. (2016). Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap Sains. Cakrawala: Jurnal Studi Islam, 11(2), 167–177. https://doi.org/10.31603/cakrawala.v11i2.192
Ro’uf, A. M. (2018). Kritik Nalar Arab Muhammad Abid Al-Jabiri (C. Wahyudi (ed.)). LKis.
Rohmanu, A. (2014). Kritik Nalar Qiyasi al-Jabiri: Dari Nalar Qiyasi Bayani Ke Nalar Qiyasi Burhani (A. Wijaya (ed.); Edisi Pert). STAIN Po PRESS.
Saifullah. (2014). Renaissance dan Humanisme Sebagai Jembatan Lahirnya Filsafat Modern. Jurnal Ushuluddin, 22, 133–144.
Viruliana, F. M., & Kholili, M. (2022). Epistimologi Nalar Bayani Dan Burhani Serta Implementasinya Pada Pembelajaran Madrasah. Jurnal Pendidikan Islam Al-Ilmi, 5(2), 82. https://doi.org/10.32529/al-ilmi.v5i2.1952